Thursday 7 March 2013

Makalah Obat Autokoid

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Defenisi obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose, pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan.
Meskipun obat dapat menyambuhkan tapi toh banyak kejadian bahwa seseorang telah menderita akibat keracunan obat.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan juga dapat bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebgai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan s

uatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila digunakan salah dalam pengobatan atau dengan keliwat dosis akan menimbulkan keracunanan.
Bila dosisnya lebih kecil kita tidak memperoleh penyembuhan. Obat-obat yang tergolong midriatik bekerja melebarkan pupil mata sedangkan obat golongan miotik mengecilkan pupil mata. Ada obat yang digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu golongan hemostatik atau golongan koagulansia yang menjadikan darah menjendal, tetapi adapula obat justru mencegah supaya darah jangan jadi menjendal, hal ini diperlukan untuk transfuse darah atau pada waktu operasi jantung dicegah darah jangan menjendal (trombosis).












BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI 
OBAT AUTAKOID, AGONIS DAN ANTAGONIS
Agonis
  Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berp sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endogen (hormon , neurotransmiter). Efeknya menyeupai senyawa endogen.
Antagonis
   Obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis.

AUTAKOID ,AGONIS DAN ANTAGONIS
    Histamin dan serotonin(5-hidroksitriptamin) didapatkan pada banyak jaringan, memiliki efek fisiologis dan patologis yang kompleks melalui berbagai subtipe reseptor, dan sering kali dilepaskan setempat. Hisamin dan serotonin bersama dengan peptida endogen, prostaglandin, dan leukotrien kadang-kaang disebut autakoid atau hormon lokal.
HISTAMIN DAN ANTIALERGI

1.HISTAMIN
1.1.Sejarah
    Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi ergot. Pada awal abad ke 19, histamin dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru-paru segar. Histamin juga ditemukan ada berbagai jaringan tubuh, oleh karena itu diberi nama histamin (histos=jaringan).
    Hiposis mengenal peran fisiologis histamin didasarkan pada adanya persamaan anara efek histamin dan gejala-gejala syok anafilaktikdan trauma jaringan. Meskipun didapatkan perbedaan diantara spesies, pada manusia histamin merupakan mediator yang penting pada reaksi alergi tipe segera (immediate) dan reaksi inflamasi, selain itu histamin memiliki peran penting dalam sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai suatu neurotransmiter dan neuromudolator.


1.2.KIMIA
    Histamin merupakan 2-(4-imidazoil) etilamin, didapatkan pada tanaman maupun jaringan hewan sera merupakan komponen dari beberapa racun dan sekret sengatan binatang. Histamin dibentuk dari asam amino L-histidin dengan cara dekarboksilasi oleh enzim histidin dekarboksilase, dan memerlukan piridoksal fosfat sebagai kofaktor.

1.3.FAMAKODINAMIK
  MEKANISME KERJA
           Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membran. Dewa ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H1,H2, dan H3, reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein G. Padaotak,reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinaptik, sedangkan reseptor H3 terutama prasinaptik.
    Aktivasi reseptor H1, yang terdapat pada endotel dan sel otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantai oleh peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurottransmiter dalam susunan saraf pusat.
    Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin menstimulasi sekresi aam lambung,meningkatkan kadar cAMP dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor H1 oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi.
    Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai sistem organ. Aktivasi reseptor H3 didapatkan dibeberapa daerah diotak mengurangi penglepasan transmiter baik histamin maupun norepinefrin, serotonin, dan asetikolin. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai gastroprotektif, dan antagonis reseptor H3 antara lain berpotensi untuk digunakan sebagai antiobesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis reseptor H3 yang diizinkan untuk digunakan diklinik.
SISTEM KARDIOVASKULAR
 Dilatasi kapiler. Efek histamin yang terpenting pada manusia ialah dilatasi kapiler (anteriol dan venul), dengan akibat kemerahan dan rasa panas diwajah (blushing area), menurunnya resistensi perifer dan tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat timbul dan berlangsung singkat. Sealiknya pengaruh histamin terhadap reseptor H2, menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan berlangsung lebih lama. Akibatnya, pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh histamin dalam jumlah kecil. Sedangkan efek histamin dalam jumlah lebih besar hanya dapat dihambat oleh kombinasi AH1 dan AH2.
Permeabilitas kapiler. Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan plasma keluar keruangan ekstrasel dan menimbulkan edema. Efek ini jelas disebabkan oleh peranan histamin terhadap reseptor  H1.
Triple respons. Bila histamin disuntikan intradermal pada manusia akan timbul tiga tanda khas yang disebut triple response dari lewis, yaitu :
(1)    bercak merah setempat beberapa mm sekililing tempat suntikan yang timbul beberapa detik setelah suntikan. Hal ini disebabkan oleh dilatasi lokal kapiler, venul dan arteriol terminal akibat efek langsung histamin. Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas lagi karena adanya edema.
(2)    Flare, berupa kemerahan yang lebih terang dengan bentuk tidak teratur dan menyebar kurang lebih 1-3 cm sekitar bercak awal. Ini disebabkan oleh dilatasi arteriol yang berdekatan akibat refleks akson.
(3)    edema setempat (wheal) yang dapat dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercak awal. Edema ini menunjukkan meningkatnya permeabelitas oleh histamin.
Pembuluh Darah Besar.
Histamin cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah besar yang intensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat, konstriksi juga terjadi pada pembuluh darah yang lebih kecil, bahkan pada dosis yang besar vasokonstriksi menutupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan resistensi perifer.
Jantung.
Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat ini mempercepat depolarisasi diastol di nodus SA sehingga rekunsi denyut jantung meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini terjadi melalui perangsangan reseptor H1 di jantung,kecuali perlambatan konduksi AV yang terjadi lewat perangsangan reseptor H2.
    Tetapi dosis konvensional histamin IV tidak menimbulkan efek yang nyata terhadap jantung. Bertambahnya frekuensi denyut jantung dan curah jantung pada pemberian infus histamin disebabkan oleh refleks kompensasi terhadap penurunan tekanan darah.
Tekanan Darah. Pada manusia dan beberapa spesies lain, dilatasi arteriol dan kapiler akibat histamindosis sedang menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang kembali normal setelah terjadi refleks kompensasi atau setelah histamin dihancurkan. Bila dosis histamin sangat besar maka hipotensi tidak dapat dilatasi dan dapat terjadi syok histamin.
Otot Polos Nonvaskuler. Histamin merangsang atau menghambat  kontraksi berbagai otot polos. Kontraksi otot polos terjadi akibat aktivasi reseptor H1, sedangkan relaksasi otot polos sebagian besar akibat aktivasi reseptor H2. Pada orang sehat, bronkokonstriksi akibat histamin tidak begitu nyata, tetapi pada pasien asma bronkial dan penyakit paru lain efek ini sangat  jelas. Histamin menyebabkan bronkokonstriksi pada marmot walaupun dengan dosis kecil, sebaliknyahistamin menyebabkan relaksasi bronkus domba dan trakea kucing.  Histamin pada uterus manusia tidak menimbulkan efek oksitosik yang berarti.
Kelenjar Oksokrin. Kelenjar lambung. Histamin dalam dosis lebih rendah yang berpengaruh terhadap tekanan darah akan meningkatkan sekresi asam lambung. Komposisi cairan lambung ini berbeda-beda antar spesies dan pada berbagai dosis. Pada manusia, dosis menyebabkan pengeluaran pepsin, dan faktor intrinsik Castle bertambah sejalan dengan meningkatnya sekresi HCL. Hal ini akibat perangsangan langsung terhadap sel parietal melalui reseptor H2. Perangsangan fisiologis ini melibatkan juga asetikolin yang dilepaskan selama aktivitas vagus, dan gastrin. Maka setelah vagotomi atau pemberian antropin, efek histamin akan menurun. Selain itu blokade reseptor H2 tidak hanya menghambat produksi asam lambung, tetapi juga mengurangi efek  gastrin atau aktivitas vagal.
Kelenjar Lain. Histamin meninggikan sekresi kelenjar liur, pankreas, bronkus dan air mata tetapi umumnya efek ini lemah dan tidak tetap.
Ujung Saraf Sensoris. Nyeri dan Gatal. Flare oleh histamin disebabkan oleh pengaruhnya pada ujung saraf yang menimbulkan refleks akson. Ini merupakan kerja histamin merangsang reseptor H1 diujung saraf sensoris. Histamin intradermal dengan cara goresan, suntikan atau iontoforesis akan menimbulkan gatal, sedangkan pemberian SK terutama dengan dosis lebih tinggi akan menimbulkan nyeri disertai gatal.
Medula Adrenal Dan Ganglia. Selain merangsang ujung saraf sensoris, histamin dosis besar juga langsung merangsang sel kromafin medula adrenal dan sel ganglion otononom. Pada pasien feokromositoma pemberian IV histamin akan meningkatkan tekanan darah.
1.4.HISTAMIN ENDOGEN
    Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa histamin merupakan mediator terakhir dalam respons sekresi cairan lambung, histamin juga berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP.
DISTRIBUSI. Histamin Terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun, bakteri dan tanman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung prekusor histamin. Kadar histamin paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus dan paru-paru.
SUMBER,SINTESIS DAN PENYIMPANAN. Histamin yang berasal dari makanan atau yang dibentuk bakteri usus bukan merupakan sumber histamin endogen karena sebaguan besar histamin ini dimetabolisme dalam hati, paru-paru serta jaringan lain dan dikeluarkan malalui urin. Setiap jaringan sel mamalia yang mengandung histamin, misalnya leukosit, dapat membentuk histamin dari histidin. Enzim penting untuk sintesis histamin ialah L-histidin dekarboksilase. Depot utama histamin ialah sel mast dan juga basofil dalam darah. Histamin disimpan sebagai kompleks dalam heparin dalam secretory granules. Histamin dalam bentuk terikat tidak aktif, tetapi banyak stimulus yang dapat memicu penglepasan histamin sel mast untuk selanjutnya mempengaruhi jaringan sekitarnya. Laju malih (turn over) histamin dalam depot ini lambat.
Apabila terjadi pengosongan, baru setelah beberapa minggu dapat terisi kembali. Histamin non-sel mast didapatkan antara lain diotak, dimana histamin berfungsi sebagai neurotransmiter dalam berbagai fungsi otak, seperti kontrol neuroendokrin, regulasi kardiovaskuler, regulasi panas , dan aurosal. Histamin juga disimpan dan dilepaskan sel seperti enterokromafin dibagian fundus lambung, dan histamin yang dilepaskan mengaktivasi sel parietal mukosa lambung untuk memproduksi asam lambung. Histamin juga terdapat dalam jumlah besar di sel epidermis dan mukosa usus dengan laju malih yang cepat.
FUNGSI HISTAMIN ENDOGEN. Reaksi anafilaksis dan Enargi. Reaksi antigen-antibodi (antibodi IgE) menyebabkan kulit melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi, gatal dan edema. Penglepasan histamin selama terjadinya reaksi antigen-antibodi telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti. Hipotesis yang menyatakan bahwa histamin merupakan perantara terjadinya fenomena hipersensitivitas telah mapan.
    Selama reaksi hipersensitivitas selain dilepaskan juga autakoid lain misalnya serotonin, kini plasma dan slow reacting substance (SRS). Pada mamalia histamin menimbulkan anafilaksis, pruritus, uritkaria, angioedema dan hipotensi, sedangkan kolaps vaskular disebabkan oleh kinin plasma dan bronkospasme oleh SRS.
Penglepasan histamin dan zat kimia dan obat. Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik sehingga akan melepaskan histamin dari sel mast  dan basofil. Zat-zat tersebut ialah:
(1)    enzim kimotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
(2)    beberapa surface active agents misalnmya detergen, garam empedu dan lisolesitin.
(3)    racun dan endotoksin.
(4)    polipeptida alkali dan ekstrak jaringan.
(5)    zat dengan berat molekul tinggi misalnya ovomukoid, zimosan, serum kuda, ekspander plasma dan polovinilpirolidon.
(6)    Zat bersifat basa misalnya morfin,kodein, antibiotik, meperidin, stilbamidin, propamidin, dimetiltubokurarin, d-tubokurarin, dan
(7)    media kontras.
    Pembebasan histamin yang banyak diteliti ialah 48/80. Beberapa detik setelah pemberian 48/80 IV pada manusia akan timbul gejala seperti terbakar dan gatal-gatal. Gejala ini nyata pada telapak tangan, muka, kulit kepala, dan telinga, diikuti dengan rasa panas. Kemerahan kulit segera meluas ke seluruh badan. Tekanan darah menurun, frekuensi jantung bertambah, timbul sakit kepala berat. Setelah beberapa menit tekanan darh kembali normal, dan timbul edema terutama didaerah abdomen dn torak disertai kolik, mual, iperskresi asam lambung d bronkospasme.
Penglepasan Histamin oleh sebab lain. Proses fisik secara mekanik, termal atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama sel mast yang akan melepaskan histamin. Hal ini terjadi misalnya pada cholinergic urticaria, solar urticaria dan cold urtucaria. Pada beberapa orang, pendinginan akan menyebabkan kemerahan lokal, flare, gatal-gatal dan edema.
Pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Histamin banyak dibentuk dijaringan yang sedang bertumbuh cepat atau sedang dalam proses perbaikan misalnya pada jaringan embrio, regenerasi hati,  sumsum tulang, luka, jaringan granulasi dan perkembangan keganasan pada berbagai spesies terutama tikus. Histamin yang berbentuk ini disebut nascent histamine, tidak tertimbun tetapi berdifusi bebas. Penghambatan histidin dekarboksilase akan menghambat perkembangan janin pada tikus. Sebaliknya obat yang meningkatkan kapasitas pembentukan histamin akan mempercepat penyembuhan luka. Nascent histamine diduga juga berperan dalam proses anabolik.
Sekresi cairan lambung. Telah dibahas difarmakodinamik histamin.
1.5. HISTAMIN EKSOGEN
     Histamin eksogen bersumber dari daging, dan bakteri dalam lumen usus dan kolon yang membentuk histamin dari histidin. Sebagian histamin ini diserap kemudian sebagian besar akan dihancurkan dalam hati, sedangkan sebagian kecil masih ditemukan dalam arteri tetapi jumlahnya terlalu rendah untuk merangsang sekresi lambung. Pada pasien sirosis hepatis, kadar histamin dalam darah arteri akan meningkat setelah makan daging, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya tukak peptik.
FARMAKOKINETIK. Histamin diserap secara baik setelah pemberian SK atau IM. Efeknya tidak ada karena histamin cepat dimetobolisme dan mengalami difusi kejaringan. Histamin yang diberikan oral tidak efektif karena diubah oleh bakteri usus (E.coli) menjadi N-asetil-histamin yang tidak aktif. Sedangkan histamin yang diserap diinaktivasi dalam dinding usus atau hati.
Pada manusia ada dua jalan utama dalam metabolisme histamin, yaitu:
(1)    metilasi oleh histamin-N-metiltransferase menjadi N-metilhistamin, N-metilhistamin oleh MAO diubah menjadi asam N-metil imidazol asetat,
(2)    deaminasi oleh histaminase atau diaminoksidase yang non spesifik menjadi asam imidazol asetat dan mungkin juga dalam bentuk konjugasinya dengan ribosa. Metabolit yang terbentuk akan diekskresi dalam urin.
INTOKSIKASI. Keracunan histamin jarang terjadi dan bila terjadi karena takar lajak. Gegala utama berupa vasodilatasi umum, tekanan darah turun sampe syok,gangguan penglihan dan sakit kepala (histamine cephalgia). Sakit kepala ini biasanya sebelah, hilang timbul, terutama terjadi pada malam hari, disertai lakrimasi dan rinore ipsilateral. Juga dapat terjadi muntah, diare,rasa logam, sesak napas dan bronkospasme. Pengobatan keracunan histamin yang paling baik ialah dengan memberikan adrenalin.  AH1 hanya bermanfaat bila diberikan setengah jam sebelum keracunan terjadi.
INDIKASI. Histamin digunakan untuk beberapa prosedur diagnostik :
(1)    penetapan kemampuan sekresi asam lambung. Basa histamin 0,3-0,7 mg diberikan SK sesudah puasa satu malam setelah 60-90 menit akan terjadi sekresi asam lambung yang maksimal.pada penyakit achylia gastrica vera, anemia pernisiosa, gastritis atrovik atau karsinoma lambung, sekresi asam lambung tidak terjadi atau berkurang. Pada tukak duodenum dan sindrom Zollinger-Ellison di temukan hipersekresi asam lambung dengan tes ini. H2agonis misalnya dimaprit dan impromidin bekerja lebih selektif dari histamin dalam mensekresi asam lambung.
(2)    tes integritas serabut saraf sensoris pada kelainan neurologis dan lepra. Penyuntikan intradermal histamin akan menimbulkan flare melalui refleks akson.
(3)    inhalasi histamin juga digunakan untuk menilai reaktivitas bronkus.
(4)    Diagnosis feokromositoma. Histamin 0,025-0,05 mg IV sewaktu tekanan darah turun akan meninggalkan tekanan darah. Peninggian tekanan darah ini disebabkan karena histamin merangsang medula adrenal sehingga adrenalin dilepaskan oleh alam jumlah besar.
KONTRAINDIKASI DAN EFEK SAMPING. Histamin tidak boleh diberikan pada pasien asma bronkial atau hipotensi. Dosis kecil histamin 0,01 mg/kgBBSK untuk tes sekresi asam lambung akan menimbulkan kemerahan di wajah, sakit kepala dan penurunan tekanan darah. Hipotensi ini biasanya bersifat nostural (hipotensi ortostatik) dan pulih sendiri bila pasien dibaringkan.

2.ANTIHISTAMIN
    Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Epinefrin merupakan antagonis fisiologik yang pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak berbeda. Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, defenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema,  eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut dapat digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
    Sesudah tahu 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yaitu bolimamid, metiamid dan semetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamin.
    Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu dengan menghambat antihistamin dan reseptor histamin H1 atau H2.


2.1.ANTAGONIS RESEPTOR H1 (AH1)
FARMAKODINAMIKA
Antagonisme terhadap histamin. AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensivitas atau keadan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan denganmarmot.
Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamin saja yang berperan tetapi autokoid lain yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitasberbeda-beda,tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresii cairan lambung tidak dapatdihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asifikasi pada mamot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihatdengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia,gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga terjadi padakeracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan peghambatan gejala SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yg lambat. Golongan etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas menimbulkan kantuk,akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untukmasing-masing obat. Antihistamin generasi II misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sdikit menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk, gangguan pada koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat tersebut digolongkan sebagai antihistamin nonsedatif. Dalam golongan ini termasuk juga loratadi, akrivastin, dan setirizin. Beberapa obat AH1 juga efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain. Defenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi rigiditas dan memperbaiki kelainan pergerakan.
Anastetik lokal. Beberapa AH1 bersifat anastetik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anestetik lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin.efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pad beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.
Sistem kardiovaskuler. Dalam dosos terapi,AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pda sistem kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anastetik lokalnya.
FARMAKOKINETIK. Setelah pemberian oral atau parental,AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi lsetelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan beberapa perivat pepirizin seperti meklizindan hidroksizin memiliki mas kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya antihistamin generasi II. Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam selanjutnya, kemudian dieliminasi dengan mas paruh kira-kira 4 jam. Kadar tertinggiterdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnyalebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. Hidroksizin merupakan prodrug, dan metabolit aktif hasil karboksilasiadalah setirizin, sedangkan feksofinadin merupakan metabolit aktif hasil karboksilasi terfenadin. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam,terutama dalam bentuk metabolitnya.
INDIKASI. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobatialergi tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis  dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskansewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya dengan menghindari alergen, desensitisasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikostiroid. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid lain. Asma bronkial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien, sehingga AH1 saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk asma bronkial berat, aminofilin,  epinefrin dan isoproterenol merupakan pilihan utama. Pada reaksi anafilaktik, AH1 hanya merupakan tambahan dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada angioedema berat dengan edema laring, epinefrin juga paling baik hasilnya. Epinefrin merupakan obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi karena epinefrin :
(1)    lebih efektif dari pada AH1.
(2)    efeknya lebih cepat.
(3)    merupakan antagonis fisiologik dari histamin dan autakoid lainnya. Artinya epinefrin mengubah respons vaso dilatasi akibat histamin dan autakoid lain menjadi vasokonstriksi.
Demikian pula AH1 dapat melawan efek bronkokonstriksioleh histamin tetapi tidak bersifat bronkodilatasi seperti yang diperlihatkan epinefrin.
    AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis atopik, dermatitis kontak, dan gigitan serangga.
    Reaksi transfusi darah tipe nonhemolitik dan nonpirogenik ringan dapat dilatasi dengan AH1. Demikian juga reaksi alergi seperti gatal-gatal, urtikaria dan angioedema umumnya dapat diobati dengan AH1.
Mabuk perjalanan dan keadaan lain.
AH1 tertentu misalnya difenhidramin,dimenhidrinat, derivat piperazin dan prometazin dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati mabuk perjalanan udara, laut dan darat. Dahulu digunakan skopolamin untuk mabuk perjalanan berat dengan jarak dekat (kurang dari 6 jam). Tetapi sekarang AH1 lebih banyak digunakan, karena efektif dengan dosis relatif kecil. Karena AH1 seperti juga skopolamin memiliki anti kolinergik yang kuat, maka diduga sebagian besar efek terhadap mabuk perjalanan didasarkan oleh efek antikolinergiknya. Untuk mencegah mabuk perjalanan AH1 sebaiknya diberikan setengah jam sebelum berangkat. AH1 terpilih untuk mengobati mabuk perjalanan ialah prometazin, difenhidramin, siklizin dan meklizin. Meklizin cukup diberikan sekali sehari.
    AH1 efektif untuk dua pertiga kasus vertigo, mal dan muntah. AH1 efektif sebagai anti muntah pasca bedah, mual dan muntah waktu hamil dan setelah radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit meniere dan gangguan vestibular lain. Penggunaan AH1 lain ialah untuk mengobati pasien paralisis agitans (penyakit perkinson) yaitu mengurangi rigiditas dan tremor.
    Efek samping hipnosis terutama oleh AH1 golongan etanolamin digunakan untuk hipnotik. Efek ini jelas pada pasien yang sensitif terhadap AH1.
    Sifat anestetik lokal AH1 digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus diingat bahwa pada penggunaan topikal, AH1 ini bisa menyebabkan sensivitas kulit.
EFEK SAMPING. Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi terhadap obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
    Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atsu diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan. Penggunaan atemizol, suatu antihistamin nonsedatif, selama lebih dari 2 minggu dilaporkan dapat menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan.
    Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
    AH1 menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan fotosensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat  jarang menimbulkan komplikasi berupa leukopenia dan agranulositosis.
    Pemberian terfanadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazol, itrakonazol, atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dapat mengakibatkan terjadinya perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes) yang mungkin fatal. Keadaan ini disebabkan karena antimikroba diatas menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh enzim CYP3A4 sehingga terjadi peningkatan kadar antihistamin didalam darah.
Karena interaksi yang berbahaya tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan pemberiannya pada pasien yang mendapat ketokonazol, itrakonazol, atau antibiotik olongan makrolid, dan juga pada pasien dengan penyakit hati. Demikian pula dengan jus grape fruit yang juga menghambat CYP3A4 dan meningkatkan kadar terfenadin plasma secara bermakna. Beberapa negara telah menarik izin pemasaran terfenadin dan menggantikannya dngan feksofenadin, yang merupakan hasil karboksilasi terfenadin yang tidak toksik terhadap jantung.
INTOKSIKASI AKUT AH1. Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
    Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya midriasis, kemerahan dimuka dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespirasi yang dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
PENGOBATAN. Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturat. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptik yang justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi kovulsi, maka diberikan tiopental atau diazepam.
PERHATIAN. Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tetang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, hrus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alkohol, obat penenang atau hipnotik sedatif.
2.2.ANTAGONIS RESEPTOR H2 (AH2)
    Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat  sekresi asam lambung. Burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan,namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetedin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
SIMETIDIN DAN RATIDIN
FARMAKODINAMIK.Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi asam lambung di hambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basal, simetidin ranitidin dapat menghambat sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
FARMAKOKINETIK.
Biovailabilitas oral simatidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absobsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin iberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorbsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% darikadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urine. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.
    Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien  penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam padaoarang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma 15%.  Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama dihati dalam jumlah cukup besar etelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal. Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang merugikan pada fetus, namun karena simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya dapat melalui plasenta maka penggunaannya hanya bila sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi fetus.
INDIKASI. Simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis lebih kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak duodenum.
    Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan pada malam hari efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum. Penyembuhan tukak duodenum umumnya dipercepat dengan pemberian simetidin 800 mg, ranitidin 300 mg,famotidin 40mg, atau nizatidin 300 mg satu kali sehari selama 8 minggu. Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi. Terapi pemeliharaan ntuk mencegah kekambuhan hanya membutulhkan dosis setengahnya dan diberikan satu kali sehari. Umumnya obat obat diberikan secara oral.
    Selain untuk tukak duodenum, dengan dosis yang sama, simetidin, ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung.
    Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk gangguan refluks lambung-esofagus (gastroesophageal reflux disorder = GERD), meskipun lebih sulit diatasi, memerlukan frekuensi pemberian yang lebih sering, dan dosis perhari yang mungkin lebih besar.
    Pada pasien Zollinger Ellison Syondrome, simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektifuntuk mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang berlebihan tetapi memerlukan dosis yang jauh lebih besar dan pemberian yang lebih sering dibandingkan dengan tukak peptik. Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk profilaksis tukak stres (stress ulcers).
EFEK SAMPING. Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umunya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor, Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit,pruritus, hilangan libido dan impoten.
    Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggiann prolaktin ini kecil.
INTERAKSI OBAT.Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis, akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasid atau metaklopramid dan simetidin oral.
    Ketokonazol harus diberkan 2 jam sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketokonazol berkurang 50% bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketokonazol membutuhkan PH asam untuk dapat bekerja dan menjadi kurang efektif  paa PH lebih tinngi yang terjadi padpasien yang juga menapat AH2.
    Simetidin menghambat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, jadi obat lain yang merupakan substrat enzim tersebut akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin antara lain arvarin, ventoin, kafein, teovilin, venobarbital karbamazepin, diazepam, propranolol metoprolol dan impiramin.
    Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Nefedipin, warvarin, teovilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Selain penghambatan sitokrom P-450 diduga ada mekanisme lain yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat absorpsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu 1 jam.
Penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik sebaiknya diberikan dengan selang waktu 1 jam.
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga akan memperlambat klirens obat lain. Simetidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokain serta meningkatkan antagonis kalsium dalam srum. Obat ini tak tercampurkan dengan baritura dalam larutan IV. Simetidin dpat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien berusia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa slurred speech, somnolen letargi gelisah, bingung, disorientasi, agitasi, halusinasi dan kejang. Gejala-gejala tersebut hilang/membaik nila pengobatan dihentikan. Gejala seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan, mungkin karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping semitidin yang jarang terjadi ialah tormbositopenia, granulossitopenia, toksisitas terhadap ginjal atau hati. Peningkatan ringan kreatinin plasma mungkin disebabkan oleh kompetisi ekskresi semitidin dan kreatinin. Simetidin (tidak ranitidin) dapat meningkatkan beberapa respons imunitas selular (cell-mediate immune response) terutama pada individu dengan depresi sistem imunologik. Pemberian simetidindan ranitidin IV sesekali menyebabkan brakikardia dan efek kardiotoksik lain.
FAMOTIDIN
FARMAKODINAMIK. Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Fanitidin tiga kali lebih paten daripada ranitidin dan 20 kali lebih paten daripada simetidin.
FARMAKOKINETIK. Famotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam  2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat  masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
INDIKASI.  Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum an tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian berpembanding selama 6 bulan, famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung,  refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres kurang lebih sama dengan antagonis reseptor AH2 lainnya.
EFEK SAMPING. Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, dan konstipasi dan diare.Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin karena tid menimbulkan efek antiandrogenik.
INTERAKSI OBAT. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam,teofirin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol mambutuhkan pHasam untuk bekerja sehingga kurang efektif bila diberikan bersama AH2.
DOSIS. Oral, pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40 mg satu kali sehari pada saat akan tidur. Umumnya 90% tukak sembuh setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa komplikasi dan klirens kreatinin <10 mL/menit, dosis awal 20 mg pada saat akan tidur. Dosis pemeliharaan untuk pasien tukak duodenum 20 mg untuk pasien sindrom Zollinger-Ellison dan keadaan hipersekresi am lambung lainnya, dosis harus diindividualisasi. Dosis awal per oral yang dianjurkan 20 mg tiap 6 jam.
Intravena: Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidakkk dapat diberikan sediaan oral, famotidin diberikan IV  20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus dititrasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.
NIZATIDIN
FARMAKODINAMIK.  Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin.
FARMAKOKINETIK. Bioavaibilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan  tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut.
    Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 11/2  jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal, 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.
INDIKASI. Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dalam pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya sama dengan AH2 lainnya.Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnya, nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.
EFEK SAMPING. Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efak samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya dapat menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menombulkanhepatotoksisitas rendah. Nizatidin tidak memiliki efek antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam kadar serum. Nizatidin tidak menghambat sistem P-450. Pad suksrelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorazepam. Penggunaan bersama antasidtidak menurunkan absorpsi nizatidin secara bermakna. Ketokonazol yang membutuhkan PH asam menjadi kurang efektif bila PH lambung lrbih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.
 DOSIS, Oral : Untuk orang dewasa dengan tukak  doudenum aktif dosis 300 mg sekali sehari pada saat akan tidur atau 150 mg, s kali sehari. Tukak sembuh pada 90% kasus setelah 8 minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik  tanpa komplikasi danklirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit dosis awal harus dikurangi 50%. Untuk pengobatan pemeliharaan tukak duodenum, dosis 150 mg pada saat akan tidur lebih efektif daripada plasebo. Untuk pasien dewasa dengan tukak lambung aktif digunakan dosis yang sama dengan pasien tukak duoenum, akan tetapi masih diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai hal tersebut.
2.3. PEMILIHAN SEDIAAN
    Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi, Tetapi efektivitasnya tidak banyak berbeda, perbedaan antar jenis obat hanya dala hal potensi, dosis, efek samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaliknya dipilih AH1 yang efek terapinya lebih besar dengan efek samping seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang ideal seperti ini. Selain ditentukan berdasarkan potensi terapeutik dan beratnya efek samping pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan adanya variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian AH1.
    Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien dengan hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak lambung. Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan pemberian yang lebih sering sehingga dapat mengurangi kebutuhan pasien. Bagi pasien yang menggunakan obat lain/banyak obat nampaknya akan lebih aman menggunakan ranitidin, famotidin, atau nizatidin yang tidak /kurang kemungkinnya dibandingkan simetidin untuk mengadakan interaksi dengan obat lain yang merupakan substrat enzim sitokrom P450. Dibandingkan simetidin, kemungkinan efek samping ranitidin, motidin, dan nizatidin nampaknya lebih kecil, termasuk diantaranya kemungkinan impotensidan ginekomastia arena ketiga obat tersebut tiak mengikat reseptor androgen.
3.ANTIALERGI LAIN
    AH1 tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simtomatik reaksi hipersensitivitas akut. Hal ini disebabkan oleh fungsi histamin yang sebenarnya merupakan pemacu untuk dibentuk dan dilepasnya autakoid lain. Baru kemudian histamin dan autakoid lain ini bersama-sama menimbulkan gejala alergi. Untuk menghambat semua efek ini diperlukan penghambat berbagai autakoid tersebut hal ini pada kenyataannya sulit dicapai, sebab tersedia penghambat untuk semua autakoid. Itulah sebabnya pengobatan reaksi alergi lebih ditujukan pada penggunaan antagonis fisiologis misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikostiroid pada gejala alergi yang tidak berespons terhada AH1. Tetapi terapi ini, seperti halnya pengambat autakoid, tidak tertuju pada penyebabnya.
    Salah satu terapi hipersensitivitas lain ialah secara profilaksis yaitu menghambat produksi atau penglepasan autakoid dari sel mast dan basofil yang telah disensitisasi oleh antigen spesifik.
3.1.NATRIUM KROMOLIN
    Kromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan histamin dari sel mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu, yang diinduksi oleh antigen. Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat ini berharga untuk profilaksis asma bronkial dan kasus atopik tertentu.
KIMIA. Natrium kromolin merupakan garam dinatrium, dengan rumus 4-4’-diokso-5-5’-(2 hidroksi trimetalin dioksi) di (4H-kromomen -2 karboksilat).
FARMAKODINAMIK. Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin juga tidak menghambat respons otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat spasmogenik. Tetapi kromolin menghambat  penglepasan histamin dan autakoid termasuk leukotrien dari paru-paru manusia pada proses alergi yang diperantarai IgE.
    Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme. Hambatan penglepasan leukotrien teutama penting pada pasien as bronkial, karena leukotrien merupakan penyebab utama bronkokonstriksi. Kromolin bekerja pada sel mast paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak menghambat ikatan IgE dengan sel mast atau interaksi antara kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekanrespons sekresi akibat reaksi tersebut.
FARMAKOKINETIK. Kromolin diabsorpsi amat buruk setelah pemberian oral, karena itu perlu diberikan secara inhalasi pada pasien asma bronkial. Dengan turbo inhaler 10% bubuk halus kromolin dapat mencapai paru-paru bagian dalam, kemudian kromolin diabsorpsi masuk peredaran darah, dengan waktu paruh kira-kira 80 menit. Kromolin tidak dibiotransformasi, dan diekskresi dalam bentuk asal 50% bersama urin dan 50% dalam empedu.
TOKSISITAS. Kromolin umumnya ditoleransi dengan baik. Jarang timbul reaksi yang tidak diinginkan walaupun setelah pengunaaan secara terus-menerus selama bertahun-tahun. Reaksi yang paling sering yang mungkin ada hubungannnya dengan efek iritasi bubuk halus kromolin pada paru-paru ialah bronkospasme, batuk, kongesti hidung, iritasi faring dan wheezing. Kadang-kadang timbul gejala pusing, diuria, bengkak dan nyeri sendi, mual, sakit kepala dan kemerahan kulit. Gejala lebih serius dan jarang terjadi yaitu reaksi hipersensitivitas misalnya edema laring, angioedema, urtikuria dan anafilaksis.
SEDIAAN. Natrium kromolin untuk inhalasi tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung 20 mg kromolin bubuk halus dicampur dengan laktosa. Obat ini diberikan secara inhalasi dengan turbo inhaler 4 kali sehari. Larutan kromolin dapat diberikan secara inhalasi  dengan menggunakan nebulizer. Larutan kromolin 4% mengandung 5,2 mg kromolin setiap kali semprot. Dosis yang dianjurkan sekali semprot 3-6 kali sehari. Juga tersedia pula larutan kromolin 4% untuk tetes mata dengan dosis 4-6 kali, 1-2 tetes/hari.
INDIKASI. Penggunaan utama kromolin untuk terapi profilaksis rangan asma bronkial pada pasien asma bronkial jangan sampai sedang.Penggunaan teratur selama lebih dari 2-3 bulan mengurangi hiperreaktivitas bronkus. Kromolin tidak bermanfaat untuk terapi asma bronkial akut atau pada status asmatkus. Kromalin diidikasikan pula untuk rinitis alergika dan penyakit atopik pada mata.
3.2.NEDOKROMIL
Nedokromil merupakan senyawa dengan struktur kimia dan efek farmakodinamik dan efek sampinf mirip kromolin seperti halnya dengan kromolin nedokromil menghambat penglepasan mediator dari sel mast bronkus dan diindikasikan mencegah untuk serangan asma pada pasien asma bronkial ringan sampai sedang. Nedokromil umumnya lebih efektif dari kromolin. Berbeda dengan kromolin yang boleh diberikan pada semua umur, nedokromil hanya diindikasikan untuk pasien asma yang berusia 12 tahun keatas. Dosis untuk dewasa dan anak di atas 12 tahun : 2-4 kali 4 mg perhari diberikan secara inhalasi atau semprotan.
3.3. KETOTIFEN
    Ketotifen atau 4 (1-metil-4 piperidiliden(-4H-benzo-(4,5)-siklohepta(1,2-b)tiofen 10 (9H)-one hidrogen fumarat, bersifat antianafilaktik karena menghambat penglepasan histamin. Ketotifen juga bersifat antihistamin kuat.
FARMAKOKINETIK. Ketotifen fumarat diabsorbsi dari saluran cerna. Bentuk utuh dan metabolitnya diekresi bersama urin dan tinja.
INDIKASI. Ketotifen telah digunakan untuk profilaksis asma bronkial. Untuk tujuan ini ketotifen digunakan secara oral untuk jangka waktu 12 bulan.
EFEK SAMPING. Efek samping ketotifen sama seperti efek samping AH1. Pernah dilaporkan ketotifen meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan. Kombinasi ketotifen dengan antidiabetik oral telah dilaporkan dapat menurunkan jumlah trombosit secara reversibel, karena itu kombinasi kedua obat ini harus dihindarkan. Ketotifen harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang alergi terhadap Obat ini.
SEDIAAN. Ketotifen tersedia dalam tablet 1 mg dan sirup 0,2 mg/mL. 1 mg ketotifen identik dengan 1,38 mg ketotifen fumarat. Dosis dewasa ketotifen fumarat untuk profilaksis asma bronkial ialah 2 kali 1,38-2,76 mg.


BAB III
PENUTUP
A.    kesimpulan
B.    saran























DAFTAR PUSTAKA

Katzung BG. Histamina,serotonin, dan the ergot alkoloid. In : Katzung BG, ed. Basic dan clinical pharmacology. 9th ed. Singapore McGraw-Hill; 2004. P. 259-79.
.Sekidgel RA, Erdos DG.Histamine, Bradikinin, and their antagonist. In : Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman dan Gilmans the Pharmacologycal Basis Of therapeutics. 11th ed. Newyork : McGraw-Hill ; 2006. P. 629-49.

No comments:

Post a Comment