MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH KEBUTUHAN SPIRITUAL
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah KDM II
Pengampu
:
Eka
Muzyanti, S.Kep
YAYASAN PENDIDIKAN PONDOK
PESANTREN AL HIKMAH 2
AKPER ALHIKMAH 2
BENDA SIRAMPOG
2012/2013
ASUHAN KEPERAWATAN
KEBUTUHAN SPIRITUAL
1. PENGKAJIAN
Pengkajian dapat menunjukan kesempatan
yang dimiliki perawat dalam mendukung atau menguatkan spiritualitas klien.
Pengkajian tersebut dapat menjadi terapeutik karena pengkajian menunjukkan
tingkat perawatan dan dukungan yang diberikan. Perawat yang memahami pendekatan
konseptual menyeluruh tentang pengkajian siritual akan menjadi yang paling
berhasil (Farran , 1989 cit Potter and perry, 1997).
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal penting yaitu
dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek
spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang baik dengan pasien. Oleh
karena itu pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat membentuk
hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat pasien, atau
perawat telah merasa nyaman untuk membicarakannya.
Craven
dan Hirnle (1996), Blais dan Wilkinson (1995) serta Tayler, Lillis dan Le Mane
(1997), pada dasarnya informasi awal yang perlu digali secara umum adalah :
a. Afiliasi agama
1) Partisipasi agama klien dalam kegiatan keagamaan
2) Jenis partisipasi dalam kegiatan keagamaan
b. Keyakinan / spiritual agama
1) Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi /
upacara keagamaan
2) Persepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
3) Strategi koping
Pengkajian data subyektif meliputi :
a. Konsep tentang Tuhan atau ketuhanan
b. Sumber harapan dan kekuatan
c. Praktik agama dan ritual
d. Hubungan antara keyakinan dan kondisi
kesehatan.
Sedangkan pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik
yang meliputi :
a.
Pengkajian afek dan sikap (Apakah pasien tampak kesepian,
depresi, marah, cemas, agitasi, apatis atau preokupasi)
b.
Perilaku (Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca
kitab suci atau buku keagamaan, dan apakah pasien seringkali mengaluh, tidak
dapat tidur, bermimpi buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta
bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama)
c.
Verbalisasi (Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah
atau topik keagamaan lainnya, apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh pemuka
agama, dan apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian)
d.
Hubungan interpersonal (Siapa pengunjung pasien, bagaimana
pasien berespon terhadap pengunjung, apakah pemuka agama datang mengunjungi
pasien, dan bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan juga
dengan perawat)
e.
Lingkungan (Apakah pasien membawa kitab suci atau
perlengkapan ibadah lainnya, apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari
unsur keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan misalnya jilbab).
Terutama dilakukan melalui observasi. (Hamid, 2000).
2. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan
informasi kedalam diagnosa keperawatan yang sesuai, perawat harus mempertimbangkan
status kesehatan klien terakhir dari perspektif holistik, dengan spiritualitas
sebagai prinsip kesatuan (Farran, 1989). Setiap diagnosa harus mempunyai faktor
yang berhubungan dengan akurat sehingga intervensi yang dihasilkan dapat
bermakna dan berlangsung (Potter and Perry, 1997).
Diagnosa
keperawatan yang berkaitan dengan masalah spiritual menurut North American
Nursing Diagnosis Association (2006) adalah distres spiritual. Pengertian dari
distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dihubungkan dengan agama,
orang lain, dan dirinya.
Menurut
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006) batasan diagnosa
keperawatan distres spiritual adalah :
a.
Berhubungan dengan diri, meliputi mengekspresikan kurang
dalam harapan, arti, tujuan hidup, kedamaian, penerimaan, cinta, memaafkan
diri, keberanian, marah, rasa bersalah, koping yang buruk.
b.
Berhubungan dengan orang lain, meliputi menolak berinteraksi
dengan teman, keluarga, dan pemimpin agama, mengungkapkan terpisah dari sistem
dukungan, mengekspresikan keterasingan.
c.
Berhubungan dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi
tidak mampu mengekspresikan kondisi kreatif (bernyanyi), tidak ada ketertarikan
kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan agama
d.
Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi
tidak mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi dalam aktifitas agama,
mengekspresikan marah kepada Tuhan, dan mengalami penderitaan tanpa harapan.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (2006)
faktor yang berhubungan dari diagnosa keperawatan distres spiritual adalah
mengasingkan diri, kesendirian, atau pengasingan sosial, cemas, kurang
sosiokultural/ deprivasi, kematian dan sekarat diri atau orang lain, nyeri,
perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain.
a.
Bagaimana penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan
dengan ketidakmampuan merekonsilasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
b.
Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kehilangan
agama sebagai dukungan utama
c.
Takut yang berhubungan dengan belum siap untuk menghadapai
kematian dan pengalaman kehidupan setelah kematian.
d.
Berduka yang disfungsional : keputusasaan berhubungan dengan
keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
e.
Keputusasaan berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada
yang peduli termasuk tuhan
f.
Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan menjadi korban
g.
Disfungsi seksual berhubungan dengan konflik nilai
h.
Pola tidur berhubungan dengan distress spiritual
i.
Resiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubunga
ndengan perasaan bahwa hidup tidak berarti
3. PERENCANAAN
Dengan
menetapkan rencana perawatan, tujuan ditetapkan secara individual, dengan
mempertimbangkan riwayat klien, area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta
data obyektif yang relevan (Hamid, 2000).
Menurut
(Munley, 1983 cit Potter and Perry, 1997) terdapat tiga tujuan untuk pemberian
perawatan spiritual yaitu klien merasakan perasaan percaya pada pemberi
perawatan, klien mampu terkait dengan anggota sistem pendukung, pencarian
pribadi klien tentang makna hidup meningkat. Tujuan askep klien distress
spiritual berfokus pada menciptakan lingkungan yang mendukung praktik keagamaan
dan keyakinan yang biasa dilakukannya.
Klien
dengan distress spiritual akan :
a.
Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuuhi
kebutuhan
b.
Menggunakan kekuatan keyakinan, harapan dan rasa nyaman
ketika menghadapi penyakit.
c.
Mengembangkan praktik spiritual yang memupuk komunikasi
dengan diri sendiri, Tuhan dan dunia luar
d.
Mengekspresikan kepuasan dengan keharmonisan antara
keyakinan spiritual dengan kehidupan sehari-hari.
Kriteria hasil yang diharapkan klien
akan :
a. Menggali akar keyakinan dan praktik
spiritual
b.
Mengidentifikasi factor dala mkehiduapn yang menantang
keyakinan spiritual
c.
Menggali alternative : menguatkan keyakinan
d.
Mengidentifikasi dukungan spiritual
e.
Melaburkan / mendemonstrasikan berkurangnya distress
spiritual setelah keberhasilan intervensi
Pada
dasarnya perencanaan pada klien distress spiritual dirancang untuk memenuhi
kebutuhan klien dengan membantu klien memnuhi kewajiban agamanya dan
menggunakan sumber dari dalam dirinya.
4. IMPLEMENTASI
Pada
tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan
prinsip - prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut (Hamid, 2000) :
a.
Periksa keyakinan spiritual ibadah
b.
Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan
spritualnya.
c.
Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual
d.
Mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien
e.
Berespon secara singkat, spesifik dan factual
f.
Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang
berarti menghayati masalah klien
g.
Menerapkan tehnik komunikasi terapeutik dengan tehnik
mendukung menerima, bertanya, memberi infomasi, refleksi, menggali perasaan dan
kekuatan yang dimiliki klien
h.
Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau
pesan verbal kien
i.
Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak
berarti menyetujui klien
j.
Menentukan arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon
terhadap penyakit. Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan
hukuman, cobaan atau anugrah dari Tuhan ?
k.
Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban
agamanya
l.
Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di Rumah
Sakit.
Menurut
Amenta dan Bohnet (1986) cit Govier (2000) ada empat alat / cara untuk membantu
perawat dalam menerapkan perawatan spiritual yaitu :
a. Menyimak dengan perilaku wajar
b. Selalu ada
c. Menyetujui apa yang dikatakan klien
d. Menggunakan pembukaan diri
Perawat
berperan sebagai komunikator bila pasien menginginkan untuk bertemu dengan
petugas rohaniawan atau bila menurut perawat memerlukan bantuan rohaniawan
dalam mengatasi masalah spiritualnya.
Menurut
McCloskey dan Bulechek (2006) dalam Nursing Interventions Classification (NIC),
intervensi dan diagnosa distres spiritual salah satunya adalah support
spiritual. Definisi support spiritual adalah membantu pasien untuk merasa
seimbang dan berhubungan dengan kekuatan Maha Besar. Adapun aktivitasnya
meliputi :
a.
Buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan
ketidakberdayaan
b.
Beri semangat untuk menggunakan sumber – sumber spiritual
c.
Siapkan artikel tentang spiritual, sesuai pilihan pasien
d.
Tunjuk penasihat spiritual pilihan pasien
e.
Gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien
mengklarifikasi kepercayaan dan nilai, jika diperlukan
f.
Mampu untuk mendengar perasaan pasien
g.
Fasilitasi pasien dalam meditasi, berdoa atau ritual
keagamaan
h.
Dengarkan dengan baik komunikasi pasien dan kembangkan rasa
pemanfaatan waktu untuk berdoa atau ritual keagamaan
i.
Yakinkan kepada pasien bahwa perawat dapat mensupport pasien
ketika sedang menderita
j.
Buka perasaan pasien terhadap rasa sakit dan kematian
k.
Bantu pasien untuk berekpresi yang sesuai dan bantu
mengungkapkan rasa marah dengan cara yang baik.
5. EVALUASI
Perawat mengevaluasi apakah intervensi keperawatan membantu
menguatkan spiritualitas klien. Perawat membandingkan tingkat spiritualitas
klien dengan perilaku dan kebutuhan yang tercatat dalam pengkajian keperawatan.
Klien harus
mengalami emosi sesuai dengan situasi, mengembangkan citra diri yang kuat dan
realistis, dan mengalami hubungan interpersonal yang terbuka dan hangat.
Keluarga dan teman, dengan siapa klien telah membentuk persahabatan dapat
dijadikan sumber informasi evaluatif. Klien harus juga mempertahankan misi
dalam hidup dan sebagian individu percaya dan yakin dengan Tuhan Yang Maha
Kuasa atau Maha Tinggi. Bagi klien dengan penyakit terminal serius, evaluasi difokuskan
pada keberhasilan membantu klien meraih kembali harapan hidup (Potter anfd
Perry, 1997).
Untuk mengatahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil
yang ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait
dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan.
Tujuan
asuhan keperawatan tercapai apabila secara umum pasien mampu :
a. Mampu beristirahat dengan tenang
b. Menyatakan penerimaan keputusan
moral / etika
c. Mengekspresikan rasa damai
berhubungan dengan Tuhan
d. Menunjukkan hubungan yang hangat dan
terbuka dengan pemuka agama
e. Mengekspresikan arti positif
terhadap situasi dan keberadaannya
f. Menunjukkan afek positif tanpa
perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
g. Menunjukkan perilaku lebih positif
h. Mengekspresikan arti positif
terhadap situasi dan keberadaannya
No comments:
Post a Comment