Tuesday 18 December 2012

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH KEBUTUHAN SPIRITUAL



MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN  PADA MASALAH KEBUTUHAN SPIRITUAL

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah KDM II

AkperAlH











Pengampu :
Eka Muzyanti, S.Kep

 


YAYASAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL HIKMAH 2
AKPER ALHIKMAH 2
BENDA SIRAMPOG
2012/2013

ASUHAN KEPERAWATAN
KEBUTUHAN SPIRITUAL

1.      PENGKAJIAN
Pengkajian dapat menunjukan kesempatan yang dimiliki perawat dalam mendukung atau menguatkan spiritualitas klien. Pengkajian tersebut dapat menjadi terapeutik karena pengkajian menunjukkan tingkat perawatan dan dukungan yang diberikan. Perawat yang memahami pendekatan konseptual menyeluruh tentang pengkajian siritual akan menjadi yang paling berhasil (Farran , 1989 cit Potter and perry, 1997).
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal penting yaitu dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang baik dengan pasien. Oleh karena itu pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat pasien, atau perawat telah merasa nyaman untuk membicarakannya.
Craven dan Hirnle (1996), Blais dan Wilkinson (1995) serta Tayler, Lillis dan Le Mane (1997), pada dasarnya informasi awal yang perlu digali secara umum adalah :
a.   Afiliasi agama
1)   Partisipasi agama klien dalam kegiatan keagamaan
2)   Jenis partisipasi dalam kegiatan keagamaan
b.   Keyakinan / spiritual agama
1)   Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi / upacara keagamaan
2)   Persepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
3)   Strategi koping
Pengkajian data subyektif meliputi :
a.   Konsep tentang Tuhan atau ketuhanan
b.   Sumber harapan dan kekuatan
c.    Praktik agama dan ritual
d.   Hubungan antara keyakinan dan kondisi kesehatan.
Sedangkan pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi :
a.       Pengkajian afek dan sikap (Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi, apatis atau preokupasi)
b.      Perilaku (Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau buku keagamaan, dan apakah pasien seringkali mengaluh, tidak dapat tidur, bermimpi buruk, dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama)
c.       Verbalisasi (Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah atau topik keagamaan lainnya, apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh pemuka agama, dan apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian)
d.      Hubungan interpersonal (Siapa pengunjung pasien, bagaimana pasien berespon terhadap pengunjung, apakah pemuka agama datang mengunjungi pasien, dan bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan juga dengan perawat)
e.       Lingkungan (Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah lainnya, apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan misalnya jilbab). Terutama dilakukan melalui observasi. (Hamid, 2000).

2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan informasi kedalam diagnosa keperawatan yang sesuai, perawat harus mempertimbangkan status kesehatan klien terakhir dari perspektif holistik, dengan spiritualitas sebagai prinsip kesatuan (Farran, 1989). Setiap diagnosa harus mempunyai faktor yang berhubungan dengan akurat sehingga intervensi yang dihasilkan dapat bermakna dan berlangsung (Potter and Perry, 1997).
Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan masalah spiritual menurut North American Nursing Diagnosis Association (2006) adalah distres spiritual. Pengertian dari distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dihubungkan dengan agama, orang lain, dan dirinya.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006) batasan diagnosa keperawatan distres spiritual adalah :
a.       Berhubungan dengan diri, meliputi mengekspresikan kurang dalam harapan, arti, tujuan hidup, kedamaian, penerimaan, cinta, memaafkan diri, keberanian, marah, rasa bersalah, koping yang buruk.
b.      Berhubungan dengan orang lain, meliputi menolak berinteraksi dengan teman, keluarga, dan pemimpin agama, mengungkapkan terpisah dari sistem dukungan, mengekspresikan keterasingan.
c.       Berhubungan dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi tidak mampu mengekspresikan kondisi kreatif (bernyanyi), tidak ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan agama
d.      Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi tidak mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi dalam aktifitas agama, mengekspresikan marah kepada Tuhan, dan mengalami penderitaan tanpa harapan.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (2006) faktor yang berhubungan dari diagnosa keperawatan distres spiritual adalah mengasingkan diri, kesendirian, atau pengasingan sosial, cemas, kurang sosiokultural/ deprivasi, kematian dan sekarat diri atau orang lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain.
a.       Bagaimana penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan merekonsilasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
b.      Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kehilangan agama sebagai dukungan utama
c.       Takut yang berhubungan dengan belum siap untuk menghadapai kematian dan pengalaman kehidupan setelah kematian.
d.      Berduka yang disfungsional : keputusasaan berhubungan dengan keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
e.       Keputusasaan berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk tuhan
f.       Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan menjadi korban
g.      Disfungsi seksual berhubungan dengan konflik nilai
h.      Pola tidur berhubungan dengan distress spiritual
i.        Resiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubunga ndengan perasaan bahwa hidup tidak berarti

3.      PERENCANAAN
Dengan menetapkan rencana perawatan, tujuan ditetapkan secara individual, dengan mempertimbangkan riwayat klien, area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data obyektif yang relevan (Hamid, 2000).
Menurut (Munley, 1983 cit Potter and Perry, 1997) terdapat tiga tujuan untuk pemberian perawatan spiritual yaitu klien merasakan perasaan percaya pada pemberi perawatan, klien mampu terkait dengan anggota sistem pendukung, pencarian pribadi klien tentang makna hidup meningkat. Tujuan askep klien distress spiritual berfokus pada menciptakan lingkungan yang mendukung praktik keagamaan dan keyakinan yang biasa dilakukannya.
Klien dengan distress spiritual akan :
a.       Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuuhi kebutuhan
b.      Menggunakan kekuatan keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika menghadapi penyakit.
c.       Mengembangkan praktik spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri sendiri, Tuhan dan dunia luar
d.      Mengekspresikan kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan sehari-hari.
Kriteria hasil yang diharapkan klien akan :
a.       Menggali akar keyakinan dan praktik spiritual
b.      Mengidentifikasi factor dala mkehiduapn yang menantang keyakinan spiritual
c.       Menggali alternative : menguatkan keyakinan
d.      Mengidentifikasi dukungan spiritual
e.       Melaburkan / mendemonstrasikan berkurangnya distress spiritual setelah keberhasilan intervensi
Pada dasarnya perencanaan pada klien distress spiritual dirancang untuk memenuhi kebutuhan klien dengan membantu klien memnuhi kewajiban agamanya dan menggunakan sumber dari dalam dirinya.

4.      IMPLEMENTASI
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip - prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut (Hamid, 2000) :
a.       Periksa keyakinan spiritual ibadah
b.      Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spritualnya.
c.       Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual
d.      Mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien
e.       Berespon secara singkat, spesifik dan factual
f.       Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien
g.      Menerapkan tehnik komunikasi terapeutik dengan tehnik mendukung menerima, bertanya, memberi infomasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien
h.      Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal kien
i.        Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti menyetujui klien
j.        Menentukan arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon terhadap penyakit. Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan atau anugrah dari Tuhan ?
k.      Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agamanya
l.        Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di Rumah Sakit.
Menurut Amenta dan Bohnet (1986) cit Govier (2000) ada empat alat / cara untuk membantu perawat dalam menerapkan perawatan spiritual yaitu :
a.       Menyimak dengan perilaku wajar
b.      Selalu ada
c.       Menyetujui apa yang dikatakan klien
d.      Menggunakan pembukaan diri
Perawat berperan sebagai komunikator bila pasien menginginkan untuk bertemu dengan petugas rohaniawan atau bila menurut perawat memerlukan bantuan rohaniawan dalam mengatasi masalah spiritualnya.
Menurut McCloskey dan Bulechek (2006) dalam Nursing Interventions Classification (NIC), intervensi dan diagnosa distres spiritual salah satunya adalah support spiritual. Definisi support spiritual adalah membantu pasien untuk merasa seimbang dan berhubungan dengan kekuatan Maha Besar. Adapun aktivitasnya meliputi :
a.       Buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan ketidakberdayaan
b.      Beri semangat untuk menggunakan sumber – sumber spiritual
c.       Siapkan artikel tentang spiritual, sesuai pilihan pasien
d.      Tunjuk penasihat spiritual pilihan pasien
e.       Gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi kepercayaan dan nilai, jika diperlukan
f.       Mampu untuk mendengar perasaan pasien
g.      Fasilitasi pasien dalam meditasi, berdoa atau ritual keagamaan
h.      Dengarkan dengan baik komunikasi pasien dan kembangkan rasa pemanfaatan waktu untuk berdoa atau ritual keagamaan
i.        Yakinkan kepada pasien bahwa perawat dapat mensupport pasien ketika sedang menderita
j.        Buka perasaan pasien terhadap rasa sakit dan kematian
k.      Bantu pasien untuk berekpresi yang sesuai dan bantu mengungkapkan rasa marah dengan cara yang baik.

5.      EVALUASI
Perawat mengevaluasi apakah intervensi keperawatan membantu menguatkan spiritualitas klien. Perawat membandingkan tingkat spiritualitas klien dengan perilaku dan kebutuhan yang tercatat dalam pengkajian keperawatan. Klien harus mengalami emosi sesuai dengan situasi, mengembangkan citra diri yang kuat dan realistis, dan mengalami hubungan interpersonal yang terbuka dan hangat. Keluarga dan teman, dengan siapa klien telah membentuk persahabatan dapat dijadikan sumber informasi evaluatif. Klien harus juga mempertahankan misi dalam hidup dan sebagian individu percaya dan yakin dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau Maha Tinggi. Bagi klien dengan penyakit terminal serius, evaluasi difokuskan pada keberhasilan membantu klien meraih kembali harapan hidup (Potter anfd Perry, 1997).
Untuk mengatahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan.
Tujuan asuhan keperawatan tercapai apabila secara umum pasien mampu :
a.       Mampu beristirahat dengan tenang
b.      Menyatakan penerimaan keputusan moral / etika
c.       Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan
d.      Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
e.       Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
f.       Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
g.      Menunjukkan perilaku lebih positif
h.      Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya

No comments:

Post a Comment